Tradisi ‘Nginduh’ di Lereng Ijen

Tradisi Nginduh diakui sebagian besar warga sebagai rutinitas wajib setiap hari. Selain karena memelihara tradisi yang sudah ada sejak lama, ini tidak lain memang masih banyak dusun di bawah kaki Ijen yang belum tersentuh listrik.

Desa-desa di bawah kaki Gunung Ijen memiliki tradisi yang dinamai tradisi ‘Nginduh’. Dengan cara menghangatkan badan sembari meminum kopi di depan tungku hanya bisa ditemui di desa-desa lereng Gunung Ijen.

Sudah sejak lama, penduduk sekitar mempunyai kebiasaan menghangatkan diri di depan tungku api berbentuk persegi, yang terbuat dari tumbukan batu bata dan semen. Tungku-tungku tersebut biasanya terletak di dapur setiap rumah penduduk.

imageedit_8_5337018489Nginduh merupakan salah satu tradisi yang sampai saat ini masih dijaga dan dilestarikan. Itu sebabnya, tidak perlu kaet saat berkunjung ke pemukiman di bawah kaki Ijen karena pengunjung akan langsung diajak menuju dapur. Tidak mengherankan, mengingat suhu dingin di wilayah kaki Ijen bisa mencapai 2 derajat celcius, terutama pada saat malam hari.

Meskipun terdapat ruang tamu, setiap pengunjung yang datang pasti akan dijamu terlebih dahulu di depan tungku. Bahkan dari banyak kunjungan, ruang tamu warga sangat jarang digunakan. Penduduk setempat menuturkan jika para tamu tidak diajak Nginduh akan terasa aneh, karena tradisi tersebut juga merupakan suatu bentuk penghormatan kepada tamu. Sebagian besar masyarakat masih menganggap tidak sopan jika tidak mengajak tamu untuk Nginduh di dapur.

Lazimnya, masyarakat akan menjamu para tamu di ruang tamu, tetapi lain halnya dengan masyarakat pegunungan Ijen yang menjamu tamu di dapur dan di hadapan tungku.

Selain menghangatkan diri di depan tungku, ada satu hal yang tidak bisa dilewatkan dari tradii Nginduh yakni kopi. Tradisi Nginduh tidak bisa dipisahkan dari kopi. Nginduh alias menghangatkan diri di depan tungku yang kerap dilakukan warga di lereng Ijen sesaat setelah matahari tenggelam, pasti lekat dengan disajikannya kopi khas Bondowoso.

Kopi asli dari kebun di bawah lereng Ijen merupakan minuman wajib saat Nginduh. Menyeruput kopi sembari berbincang ringan di hening malam sampai semua lampu padam di pagi hari sudah menjadi kebiasaan hampir semua warga. Kopi yang disajikan saat Nginduh juga bukan sembarang kopi. Mayoritas kopi yang disajikan oleh warga lereng Ijen kepada tamu adalah kopi hasil olahan mereka sendiri. Biasanya, para warga mendapatkan kopi dari PTPN XII atau memetik dari tanaman milik sendiri dari kebun yang tidak seberapa luas.

Semua proses diolah sendiri mulai memetik, menjemur, menyangrai, menumbuk kopi dengan lesung atau alat tumbuk tradisional, hingga menyajikan dalam secangkir gelas. Seolah kopi yang disuguhkan warga lereng Ijen memiliki daya magis yang berbeda dari kopi yang biasa ditemui di warung atau bahkan restoran kopi ala Barat yang terkenal.

imageedit_6_4516691323Tungku yang disebut masyarakat dengan nama tomang sendiri ukurannya tidak terlalu besar sekitar 90×60 cm dengan satu lubang di depan sebagai tempat meletakkan kayu bakar. Ada ukuran yang kecil, ada pula ukuran yang lebih besar. Sementara di atasnya terdapat lubang yang berfungsi sebagai jalan keluar api yang biasa digunakan untuk memasak. Saat seorang warga ditanya mengap memilih tungku daripada kompor gas, dengan lugu mengaku karena tidak terbiasa. Selain itu, cita rasa masakan yang dimasak menggunakan tungku akan berbeda jauh.

Seperti yang sudah diketahui, kopi yang berasal dari lereng pegunungan Ijen ini memang istimewa. Cita rasanya yang khas ditambah proses pengolahan kopi yang baik, menjadikan kopi-kopi dari kawasan tersebut menyebar ke mata dunia.

Suasana dingin yang mengigit kulit akan mulai menghangat kala kopi disajikan. Kepulan asap disertai wangi kopi yang khas langsung menyeruak dari gelas yang baru saja dituang air mendidih. Cahaya temaram yang berasal dari tungku merangkul suara gemeretak kayu bakar. Suasana sunyi khas desa di malam hari menjadi senandung lirih suasana tradisi Nginduh.

Banyak desa di bawah kaki Ijen, minum kopi sembari Nginduh lebih utama dibanding menonton televisi. Para warga lebih menyukai duduk bersama di kursi kecil, bercengkrama berlama-lama sembari menikmati kopi di depan tungku, ketimbang melihat hiruk pikuk yang disajikan dalam tayangan televisi.

imageedit_2_3851453047Uniknya lagi, tradisi Nginduh juga turut andil dalam menentukan tatanan rumah warga lereng Ijen. Dapur warga di bawah kaki pegunungan Ijen diatur layaknya ruang tamu yang nyaman. Tidak sekedar tempat memasak, di dapur akan ada dipan (tempat tidur) yang terbuat dari bambu, biasanya juga menjadi tempat untuk duduk. Bahkan tidak sedikit yang meletakkan sofa di dapur.

Jika kamu berkesempatan berkunjung ke salah satu desa di bawah lereng pegunungan Ijen Bondowoso, jangan lewatkan tradisi Nginduh ini. Tentu saja ditemani secangkir kopi yang sudah mendunia itu. Menghangat diri sembari menjalin silaturahmi bersama para warga.

(vro)