Sama-sama Ngerti, Tradisi Ngopi di Aceh

Biji Kopi Sanger, Aceh

Kopi adalah salah satu minuman yang banyak diminati dan dinikmati oleh jutaan orang di dunia. Kopi adalah salah satu jenis minuman yang berasal dari tanaman biji kopi yang kemudian disangrai lalu dihaluskan hingga berubah menjadi bubuk hingga akhirnya diseduh dengan air.

Dari berbagai negara penghasil kopi memiliki tradisi dalam menikmati kopi yang tentu saja mempunyai ciri khas dan cara unik tersendiri. Tidak terkecuali di negara Indonesia, negara yang termasuk dalam 10 besar penghasil kopi terbesar dan terbaik di dunia dilansir oleh Worldatlas.com.

Bercermin dari catatan produksi kopi dunia tersebut, maka Indonesia memiliki daerah-daerah penghasil kopi yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kehidupan masyarakat sebagai petani kopi pastilah tidak lepas dari kebiasaan meminum kopi. Kebiasaan meminum kopi yang menjadi tradisi di daerah penghasil kopi juga bertumbuh menjadi gaya hidup. Setiap negara, dan daerah penghasil kopi pasti memiliki tradisi minum kopi yang unik, khas, dan berbeda dari tempat satu ke tempat yang lain.

Pada kesempatan ini, mari membahas tradisi ngopi di daerah paling ujung Barat Indonesia, Aceh.

Di kota Aceh, budaya minum kopi sehabis subuhan menjadi pilihan warga kota paling barat di Indonesia ini. Pada era tahun 1980-an, budaya ngopi di Banda Aceh identik dengan bapak-bapak duduk di warung kopi tradisional. Warung kopi ini biasanya hanya toko kecil berisi meja dan kursi. Sebuah dapur tempat penjual meracik kopi terletak di depan pintu masuk.

Awalnya muncul sekitar tahun 90-an, saat itu ada pelanggan yang minta dibuatkan kopi susu, dimana susunya sedikit, gulanya sedikit dan kopinya banyak. Merespon permintaan seperti itu, pemilik kopi di kawasan Ulee Kereng ini kemudian menjawab, “ini sanggeng namanya, kopi bukan, susu juga bukan”. Sanggeng adalah kata bahasa Aceh yang berarti bodoh, disebut bodoh karena kopi pesanan ini tidak jelas bentuknya, bukan kopi dan bukan pula kopi susu. Namun kemudian istilah sanggeng ini bergeser menjadi sanger, dan menjadi populer dikalangan mahasiswa saat itu yang tidak terlalu suka atau tidak sanggup minum kopi keras ala Aceh, tetapi juga ingin menikmati kopi dengan teman temannya, persis seperti saya saat itu”, ujar Kasyful Humam pemilik kedai kopi Tanabata, di jalan Teuku Iskandar, Ulee Kareng.

Masyarakat Aceh tidak dapat dipisahkan dari kopi. Karena itulah, kedai kopi banyak ditemui di berbagai pelosok negeri berjuluk Serambi Mekkah ini. Bisa dikatakan, kopi ibarat nafasnya orang Aceh. Sulit dipisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka sejak zaman Kesultanan Aceh. Sanger lahir dari sama sama ngerti karena kepepet uang habis tapi pingin kopi enak.

Kopi Sanger Khas Aceh

Selain berasal dari kata sanggeng, ada juga yang menduga kalau istilah sanger ini berasal dari singkatan “sama-sama ngerti”, maksudnya minuman kopi-susu yang dipesan tidak terlalu banyak susunya, sehingga harganya juga lebih miring dibandingkan harga kopi-susu asli. Hampir bisa ditebak kalau yang memesan seperti ini adalah mahasiswa yang memang dompetnya sering kosong, apalagi kalau kiriman dari kampung belum tiba, tapi keinginan menikmai kopi selalu ada.

Tradisi minum kopi telah berkembang turun temurun seiring perkembangan Aceh sebagai salah satu daerah produsen kopi kelas dunia. Sejak era kolonial Belanda hingga sekarang, setidaknya ada dua daerah sentra produksi kopi di Aceh, yaitu Ulee Kareng dan Gayo. Dan bisa bertambah seturut perkembangan minat kopi. Kopi Ulee termasuk jenis kopi Robusta, sedangkan kopi Gayo termasuk jenis kopi Arabika. Kedua janis kopi inilah yang mengharumkan nama Aceh sebagai salah satu produsen kopi terbaik di Tanah Air yang merajai 40% pasar dalam negeri.