Atasi Klitih, Kembalikan Peran Kedai Kopi Sebagai Penny University

Maraknya aksi klitih di Jogja dalam beberapa waktu terakhir, menjadi keresahan dan kekhawatiran banyak pihak. Keamanan menjadi terancam bagi Jogja sebagai kota pelajar. Sebagai kota pelajar, orang tua merasa was-was tentunya bila anak-anaknya terjebak pada lingkungan mengejar ‘eksistensi’ menang waton wani yang cenderung mengarah ke perbuatan kriminal demi mendapat pengakuan di komunitasnya. Komunitas geng-gengan. Tak sedikit korban mulai dari luka ringan, luka berat sampai meninggal. Tindakan ini menjadi keresahan bersama. Kepolisian yang lambat dalam menangani kasus klitih, punya kesulitan tersendiri dalam penindakan lantaran para pelakunya masih di bawah umur.

Kemarahan tersebut bahkan sampai membuat viralnya fenomena klitih ini ke berbagai sosial media. Masyarakat menuntut tanggung jawab kepolisian dalam memberikan rasa aman dan nyaman secara pasti. Bahkan banyak masyarakat sampai menggalakkan siskamling karena tak mau adanya kasus klitih terjadi di sekitar mereka.

Apa itu klitih?

Dilansir dari suara.com, Arie Sujito, sosiolog UGM yang kini menjadi Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat dan Alumni ini, mengatakan klitih yang dimaksud adalah kegiatan di luar rumah yang dilakukan pada malam hari untuk menghilangkan rasa lelah.

Namun, istilah tersebut menggeser maknanya ke arah negatif. Saat ini, kata klitih digunakan untuk menggambarkan aksi kekerasan dan kriminalitas yang sering terjadi di jalanan sekitar Yogyakarta, dari malam hingga dini hari.

Banyak pihak memberikan usulan. Mulai dari menuntut aparat bertindak tegas dan terukur, sampai pada tindakan preventif, karena para pelaku masih di bawah umur. Serta berbagai penyaluran kegiatan positif hingga wadah yang dibikin Erix Sukamti, Jogja Gelut Day agar hasrat berkelahi anak muda terpenuhi.

Kalau obrolan di warung kopi malah berbeda menanggapi anak muda klithih. Renggo Darsono, Juru Cerita Dongeng Kopi malah mengusulkan solusi mengembalikan peran warkop-warkop layaknya Penny University di masa lalu. Istilah penny university dikenal di Inggris untuk menyebut kedai kopi pada abad 17. Tempat sarana ajang berkumpulnya para intelektual untuk berdiskusi memecahkan berbagai macam persoalan yang ada.

“Kami percaya ada cara yang lebih baik agar pengetahuan dapat dibagikan dan didistribusikan. Orang-orang harus menjadi pusat dari proses pembelajaran, dan terlibat dengan orang lain adalah cara paling efektif bagi orang untuk memperluas pikiran dan keahlian mereka. Komunitas dan bisnis tumbuh lebih kuat ketika orang membangun hubungan melalui bimbingan dan pembelajaran bersama, dan itulah yang ingin dicapai oleh Penny University”

sumber: Penny University

“Jika kedai kopi dapat menjadi ruang tempat bertukar banyak hal, bermanfaat tidak hanya sebatas tempat menguras isi saku pelanggan, saya rasa anak-anak muda bisa dapat lingkungan yang lebih baik ketimbang aksi aksi jalanan yang meresahkan. Bentuk idealnya ya seperti Penny University. Tapi bisa diaplikasikan tidak harus sekaku itu. Saya rasa Jogja kan banyak kedai kopi, nah fungsi sosialnya bisa jalan tidak hanya sebatas transaksional saya pikir bisa bagian dari alternatif menciptakan ruang dengan lingkungan positif”

Imbuh Renggo sembari menyesap Kopi Hitam di tengah obrolan membahas klitih.

Kedai kopi terkenal sebagai area berkumpulnya anak muda. Tak menutup kemungkinan, dengan banyaknya kedai kopi yang ada, maka akan ada banyak ruang “penny university” dapat digunakan sebagaimana mestinya. Memanfaatkan fasilitas seperti perpustakaan mini, kelas belajar gratis dan masih banyak hal yang dapat ditawarkan. Tentunya semua itu adalah hal positif yang dapat dilakukan.

Hal ini juga sebagai upaya preventif yang dapat berkesinambungan secara terus menerus dalam upaya memberantas klitih. Tanpa ada peran serta masyarakat, orang tua, pemerintah, aparat dan elemen lainnya, mustahil klitih dapat diberantas.