Tradisi Ngopi: Ngopi Sepuluh Ewu, Sekali Seduh Kita Bersaudara

Menikmati secangkir kopi di warung, kafe atau ruang tamu sekalipun sudah biasa di kalangan pecinta kopi. Namun, jika ngopi dilakukan beramai-ramai, mungkin sensasinya akan berbeda.

Saat kebanyakan orang tak punya banyak waktu untuk berkumpul dan minum kopi bersama keluarga, masyarakat Using, Banyuwangi, ajwa Timur, justru memiliki tradisi minum kopi yang dijadikan sebuah festival. Setiap bulan Suro dalam penanggalan Jawa, Desa Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur mengadakan acara yang bertajuk Festival Ngopi Sepuluh Ewu Kopi.

Kampung Adat Osing Kemiren menjelma menjadi lautan kopi. Ribuan masyarakat menghadiri Festival Ngopi Sepuluh Ewu Kopi. Ngopi gratis itu berlangsung di sepanjang jalan utama desa tersebut. Masing-masing rumah utama desa yang berdiri di sepanjang jalan desa dibangun menyerupai pondok, lengkap dengan meja, kursi, serta tersaji teko dan cangkir berisi kopi seduhan yang masih panas.

Even tahunan yang sudah digelar sejak 2014 itu menyajikan kopi serta makanan maupun jajanan khas seperti rengginang, keripik gadung, ketan, pisang rebus, serabi, lanun, lopis, dan klemben (bolu kering khas Banyuwangi). Sajian tersebut dihidangkan secara cuma-cuma alias gratis.

Ide tradisi tersebut diinisiasi dari kebiasaan ngopi warga Kemiren sebagai cara mempererat jalinan silahturahmi antar masyarakat Using yang sudah terkenal keramahan dan keluwesannya. Sekali seduh kita semua bersaudara.

Dalam festival yang telah menjadi agenda rutin pemkab Banyuwangi ini, tiap pengunjung yang datang dipersialahkan untuk duduk di halaman rumah siapa saja. Uniknya, sang empunya rumah akan meyambut dengan keramahan, sembari mengajak pengunjung untuk berbincang hangat di ruang tamu. Suasana pun sekejab berubah menjadi guyup, layaknya bersama keluarga sendiri.sak Corot Dadi Saduluran, begitu ungkapan yang terlontar dari warga Desa Kemiren.

Bahkan, dalam hal penerimaan tamu, suku Using mempunyai pakem tersendiri, yakni gupuh, lungguh, suguh. Gupuh merupakan sikap menyegerakan untuk mempersilahkan tamu masuk. Lungguh bermakna menyegerakan tamu untuk duduk. Dan suguh ialah memberikan hidangan pada tamu. Dan secangkir kopi menjadi ciri tradisi asli yang menggambarkan keramahan dan kemurahatian warga Using.

Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas menjelaskan secara keseluruhan Banyuwangu mampu memproduksi hampir 9.000 ton kopi per tahun, dengan persentase 90% jenis robusta dan 10% berjenis arabika. Fastival Ngopi Sepuluh Ewu diharapkan juga bisa mengedukasi masyarakat tentang kopi, mulai dari proses produksi, penyaringan, sampai penyajian.